Satu kisah mengenai hati dan logika....
Senja itu,
matahari berjalan pelan menuju peraduannya di ufuk barat. Semburat jingganya
memancar ke segala sudut elevasi – menenangkan setiap jiwa yang duduk manis,
menatapnya.
Tak
terkecuali, mereka. Dua jiwa dengan camukan ego masing-masing yang menghantui.
Kini mereka
tengah duduk berdampingan. Saling memandang langit. Berharap ketenangan senja
dapat memungut semua rasa-tak-ingin-mengalah diantara mereka dan membawa mereka
pada satu tujuan.
“Maaf, aku
tidak bisa mengikuti langkahmu. Aku masih mencintainya…” Ucap perempuan yang
berbalut selendang merah itu sambil menangis. Kulitnya tampak pucat, sangat
kontras dengan warna selendang yang ia kenakan. Matanya sembap, menandakan
bahwa telah banyak airmata yang ia keluarkan.
Sementara
itu, perempuan di sampingnya -yang mengenakan selendang berwarna hitam- tampak
tenang. Matanya masih terpaku menatap langit. Hanya saja rahang dagunya
mendadak mengeras setelah mendengar ucapan perempuan berselendang merah tadi.
“Bagaimana
bila ternyata cintamu itu salah? Bagaimana bila ternyata dia tidak mencintaimu?
Apa kau tetap akan mencintainya?” Ia lalu menoleh ke arah perempuan yang sedang
terisak itu. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya.
“Kau bodoh
bila terus mencintainya, disaat ada sosok yang lebih baik yang tulus
mencintaimu.” Tutur perempuan berselendang hitam tadi, masih dengan penuh
ketenangan. Diarahkannya lagi pandanganya ke langit senja yang kini berhias
burung camar yang terbang beriringan. Andai
saja kita berdua bisa seirama seperti mereka dalam menentukan langkah,
batinnya. “Percayalah padaku, orang yang kau cintai sekarang bukanlah yang
terbaik untukmu. Lupakan dia!”
“TIDAK!!”
teriak si perempuan berselendang merah tiba-tiba. Mengejutkan jiwa yang duduk
di sampingnya. “Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Aku masih sering
memikirkannya. Aku masih sangat peduli padanya. Bahkan aku masih membawanya
dalam setiap doaku.” Ia kembali terisak.“Kau boleh menganggapku bodoh. Tapi
inilah kenyataannya. Aku tak bisa melewatkan hari tanpanya.”
“Kau bisa!
Kau hanya tidak mau.” Balas perempuan berselendang hitam, tak mau kalah.
“Cinta tak
membutuhkan alasan, kau ingat itu?”
“Ya, aku
mengingatnya. Tapi kita hidup tak hanya bermodalkan cinta. Kau juga harus
mengingat bahwa kita harus bersikap realistis.”
“Aku
bersikap realistis. Buktinya, aku tak mau munafik dengan membohongi diriku
sendiri. Aku masih yakin bahwa suatu hari nanti dia bisa berubah. Semua orang
bisa berubah jadi lebih baik!”
Perempuan
berselendang hitam menghela napas panjang. Jelas sekali bahwa ia sedang
berusaha meredam emosinya. Siapa
sesungguhnya yang keras kepala disini? Dia atau aku?
“Lagipula,
aku percaya dia masih mencintaiku. Aku bisa merasakannya lewat tingkah lakunya
padaku.” Lanjut wanita berselendang merah itu penuh keyakinan.
“Pernahkah
sesekali kau berpikir berapa banyak harapanmu yang telah mati karena dia?”
Perempuan berselendang hitam lantas tersenyum sinis. “Aku yakin kau pernah
melakukannya. Kau hanya tak mau mengakuinya di depanku, bukan?”
Kembali tak
ada jawaban yang terucap. Keduanya kini saling diam, sibuk dengan pikiran
masing-masing. Sementara itu, angin senja berhembus menyapa mereka. Mencoba
merasuk ke dalam darah melalui pori-pori, dan berusaha menurunkan tekanan darah
mereka yang semakin meninggi.
“Baiklah,
aku akan mengakui sesuatu.” Perempuan berselendang merah akhirnya angkat
bicara. “Aku pernah… merasa bahwa dia bukanlah orang yang tepat. Aku pernah…
membencinya karena sikapnya yang tak menjadikanku prioritas, seberapa keraspun
aku mencoba. Aku pernah… diam-diam mengikuti saranmu untuk melupakannya.
Namun…”
“Namun…
apa?” Perempuan berselendang hitam menyipitkan matanya – penasaran akan
kelanjutan kata-kata perempuan berselendang merah.
“Semakin aku
mencoba melupakannya, justru bayang-bayangnya semakin nyata ada di dekatku. Aku
tidak kuat menahan semuanya..” Air matanya kembali mengalir deras, “Belum lagi
keadaan yang seolah tak mengijinkanku untuk melangkah. Itulah mengapa aku memutuskan
untuk terus mencintainya.”
“Aku
mengerti perasaanmu.” Di elusnya bahu perempuan berselendang merah perlahan.
“Tapi dengarkan penjelasanku supaya matamu terbuka kembali. Aku tak ingin kau
bersedih selamanya.”
“Katakan
saja apa yang ingin kau katakan..”
Perempuan
berselendang hitam menghela napas. Maaf
bila aku harus mengatakan ini, semoga kau bisa mengerti.
“Yang aku tahu… Bila ia benar mencintaimu,
ia akan menanggalkan segala egonya dan menjadikanmu prioritas. Bila ia benar
mencintaimu, ia tak akan membiarkanmu berjuang sendirian. Bila ia benar
mencintaimu, ia akan menerimamu apa adanya tanpa menuntut sebuah kesempurnaan
darimu.”
Lantas
terdengar isakan yang semakin kencang dari mulut perempuan berselendang merah.
“Lanjutkan saja. Tamparlah aku dengan semua pikiranmu itu. Buatlah aku sadar!”
“If he’s choosing not to make a
simple effort that would put you at ease and bring harmony to a recurring
fight, then he doesn’t respect your feeling and needs. Be aware of this and
realize that he’s okay with disappointing you. Don’t be with someone who
doesn’t do what they say they’re going to do.”
Perempuan
berselendang merah mengusap airmatanya perlahan, walau airmatanya seakan tak
mau berhenti menetes. Ia kemudian mendongakkan kepalanya yang sedari tadi
tertunduk dan menatap kawan di sebelahnya itu. “Aku takut. Aku takut bila aku
melupakannya, kelak jiwaku akan mati. Ragaku mungkin masih ada, tapi entah
dengan jiwaku.”
“Justru
dengan mencintainya, jiwamu perlahan akan mati berbalut kesedihan. Namun bila
kau melangkah menuju masa depan, maka kau akan melihat kembali indahnya dunia
yang selama ini tak kau lihat karena sibuk mencintainya. Kau akan menemukan
orang baru yang lebih bisa menghargaimu dan memperlakukanmu layaknya ratu. Lalu
kau akan lebih bahagia.”
Perempuan
berselendang hitam lantas mengarahkan pandangannya pada deretan pohon cemara
yang berdiri tak jauh dari tempat mereka duduk. Ia tampak mengamati sesuatu. “Lihatlah ulat di ranting pohon itu! Kau
kini sama seperti dirinya. Bila kau tak mau berubah, maka hanya warna hijau
yang bisa kau lihat. Hanya dialah yang ada di matamu. Tapi bila kau mau
bermetamorfosis menjadi kupu-kupu yang terbang kemana saja, maka kau akan
melihat banyak lagi warna baru yang lebih indah daripada warna hijau. Kau akan
melihat laki-laki lain yang jauh lebih baik.”
“Apa
menurutmu ini saatnya untukku bermetamorfosis menjadi kupu-kupu?” tanya
perempuan berselendang merah, sedikit ragu.
Perempuan
berselendang hitam pun mengangguk dengan penuh keyakinan, “Tentu, bila kau tak ingin berlarut-larut dalam tangis. Apa yang telah
kusampaikan padamu semata-mata hanya untuk kebaikanmu. Maka untuk kali ini
saja, turutilah aku. Ikuti jalanku, logika.”
Ia pun
lantas berdiri dan melangkah pergi meninggalkan perempuan berselendang merah
yang masih duduk termangu.
***
Seorang perempuan berjalan menuju sebuah rumah kayu yang
terletak di tepi hutan. Tangannya menjinjing sebuah keranjang coklat yang
berisi bunga-bunga cantik dengan berbagai warna. Sembari melangkah, ia
merapikan selendang berwarna hitam legam yang ia kenakan. Ketika sudah
mendekati rumah tersebut, mata perempuan tadi menangkap sesuatu. Sepucuk surat? Siapa yang menaruhnya di
depan rumahku?
Ia pun mempercepat
langkahnya dan memungut surat yang terletak di depan pintu itu. Tanpa nama.
Merasa tak sabar ingin membacanya, ia segera membuka pintu dan meletakkan
keranjang bawaannya. Ia lalu duduk pada kursi goyang yang terletak tak jauh
dari perapian. Dibukanya surat itu perlahan. Ada namanya di bagian paling atas.
LOGIKA,
Sudah kupikirkan semua yang kau
katakan. Sudah kupertimbangkan semuanya. Bahwasanya, kau memang sepenuhnya
benar. Aku saja yang selama ini keras kepala dan menutup mata batinku. Kini
semuanya sudah terjawab jelas. Ia tak lagi mencintaiku. Ia telah bahagia dengan
jiwa lain yang mungkin lebih pantas bersanding dengannya dibandingkan aku. Kini
semuanya secara nyata menyayatku. Membuatku menangis perih. Selendang merahku
tak lagi berwarna cerah. Ia telah berubah warna menjadi keunguan, seperti lebam
yang menjalari tubuhku.
Tak
apa, kau tak perlu khawatir. Ini semua memang murni kesalahanku. Seharusnya
dari awal aku mendengarkan kata-katamu. Seharusnya dari awal kucermati semesta
yang memberi banyak tanda. Sayangnya semua sudah terlambat. Tak ada lagi hal
yang bisa kulakukan, selain melangkah menuju masa depan. Maka kini bantulah
aku. Kuatkan aku dengan segala penguatan yang kau punya. Aku sadar bahwa hanya
kau yang aku butuhkan di saat-saat seperti ini.
Mohon
jangan kecewakan aku, yang telah memilih untuk mengikutimu…
Dengan Tulus,
HATI
0 comments:
Post a Comment