Friday, July 18, 2014

Sebuah Pilihan

Posted by Santa Maya Pramusita at 10:30 AM
Satu kisah mengenai hati dan logika....


Senja itu, matahari berjalan pelan menuju peraduannya di ufuk barat. Semburat jingganya memancar ke segala sudut elevasi – menenangkan setiap jiwa yang duduk manis, menatapnya.

Tak terkecuali, mereka. Dua jiwa dengan camukan ego masing-masing yang menghantui. 


Kini mereka tengah duduk berdampingan. Saling memandang langit. Berharap ketenangan senja dapat memungut semua rasa-tak-ingin-mengalah diantara mereka dan membawa mereka pada satu tujuan.

“Maaf, aku tidak bisa mengikuti langkahmu. Aku masih mencintainya…” Ucap perempuan yang berbalut selendang merah itu sambil menangis. Kulitnya tampak pucat, sangat kontras dengan warna selendang yang ia kenakan. Matanya sembap, menandakan bahwa telah banyak airmata yang ia keluarkan.

Sementara itu, perempuan di sampingnya -yang mengenakan selendang berwarna hitam- tampak tenang. Matanya masih terpaku menatap langit. Hanya saja rahang dagunya mendadak mengeras setelah mendengar ucapan perempuan berselendang merah tadi.
“Bagaimana bila ternyata cintamu itu salah? Bagaimana bila ternyata dia tidak mencintaimu? Apa kau tetap akan mencintainya?” Ia lalu menoleh ke arah perempuan yang sedang terisak itu. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya.


“Kau bodoh bila terus mencintainya, disaat ada sosok yang lebih baik yang tulus mencintaimu.” Tutur perempuan berselendang hitam tadi, masih dengan penuh ketenangan. Diarahkannya lagi pandanganya ke langit senja yang kini berhias burung camar yang terbang beriringan. Andai saja kita berdua bisa seirama seperti mereka dalam menentukan langkah, batinnya. “Percayalah padaku, orang yang kau cintai sekarang bukanlah yang terbaik untukmu. Lupakan dia!”
 
“TIDAK!!” teriak si perempuan berselendang merah tiba-tiba. Mengejutkan jiwa yang duduk di sampingnya. “Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Aku masih sering memikirkannya. Aku masih sangat peduli padanya. Bahkan aku masih membawanya dalam setiap doaku.” Ia kembali terisak.“Kau boleh menganggapku bodoh. Tapi inilah kenyataannya. Aku tak bisa melewatkan hari tanpanya.”

“Kau bisa! Kau hanya tidak mau.” Balas perempuan berselendang hitam, tak mau kalah.
“Cinta tak membutuhkan alasan, kau ingat itu?”
“Ya, aku mengingatnya. Tapi kita hidup tak hanya bermodalkan cinta. Kau juga harus mengingat bahwa kita harus bersikap realistis.”


“Aku bersikap realistis. Buktinya, aku tak mau munafik dengan membohongi diriku sendiri. Aku masih yakin bahwa suatu hari nanti dia bisa berubah. Semua orang bisa berubah jadi lebih baik!”
Perempuan berselendang hitam menghela napas panjang. Jelas sekali bahwa ia sedang berusaha meredam emosinya. Siapa sesungguhnya yang keras kepala disini? Dia atau aku?

“Lagipula, aku percaya dia masih mencintaiku. Aku bisa merasakannya lewat tingkah lakunya padaku.” Lanjut wanita berselendang merah itu penuh keyakinan.
“Pernahkah sesekali kau berpikir berapa banyak harapanmu yang telah mati karena dia?” Perempuan berselendang hitam lantas tersenyum sinis. “Aku yakin kau pernah melakukannya. Kau hanya tak mau mengakuinya di depanku, bukan?”


Kembali tak ada jawaban yang terucap. Keduanya kini saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sementara itu, angin senja berhembus menyapa mereka. Mencoba merasuk ke dalam darah melalui pori-pori, dan berusaha menurunkan tekanan darah mereka yang semakin meninggi.


“Baiklah, aku akan mengakui sesuatu.” Perempuan berselendang merah akhirnya angkat bicara. “Aku pernah… merasa bahwa dia bukanlah orang yang tepat. Aku pernah… membencinya karena sikapnya yang tak menjadikanku prioritas, seberapa keraspun aku mencoba. Aku pernah… diam-diam mengikuti saranmu untuk melupakannya. Namun…”

“Namun… apa?” Perempuan berselendang hitam menyipitkan matanya – penasaran akan kelanjutan kata-kata perempuan berselendang merah.
“Semakin aku mencoba melupakannya, justru bayang-bayangnya semakin nyata ada di dekatku. Aku tidak kuat menahan semuanya..” Air matanya kembali mengalir deras, “Belum lagi keadaan yang seolah tak mengijinkanku untuk melangkah. Itulah mengapa aku memutuskan untuk terus mencintainya.”

“Aku mengerti perasaanmu.” Di elusnya bahu perempuan berselendang merah perlahan. “Tapi dengarkan penjelasanku supaya matamu terbuka kembali. Aku tak ingin kau bersedih selamanya.”
“Katakan saja apa yang ingin kau katakan..”


Perempuan berselendang hitam menghela napas. Maaf bila aku harus mengatakan ini, semoga kau bisa mengerti.  
“Yang aku tahu… Bila ia benar mencintaimu, ia akan menanggalkan segala egonya dan menjadikanmu prioritas. Bila ia benar mencintaimu, ia tak akan membiarkanmu berjuang sendirian. Bila ia benar mencintaimu, ia akan menerimamu apa adanya tanpa menuntut sebuah kesempurnaan darimu.”

Lantas terdengar isakan yang semakin kencang dari mulut perempuan berselendang merah. “Lanjutkan saja. Tamparlah aku dengan semua pikiranmu itu. Buatlah aku sadar!”
“If he’s choosing not to make a simple effort that would put you at ease and bring harmony to a recurring fight, then he doesn’t respect your feeling and needs. Be aware of this and realize that he’s okay with disappointing you. Don’t be with someone who doesn’t do what they say they’re going to do.”


Perempuan berselendang merah mengusap airmatanya perlahan, walau airmatanya seakan tak mau berhenti menetes. Ia kemudian mendongakkan kepalanya yang sedari tadi tertunduk dan menatap kawan di sebelahnya itu. “Aku takut. Aku takut bila aku melupakannya, kelak jiwaku akan mati. Ragaku mungkin masih ada, tapi entah dengan jiwaku.”
 
“Justru dengan mencintainya, jiwamu perlahan akan mati berbalut kesedihan. Namun bila kau melangkah menuju masa depan, maka kau akan melihat kembali indahnya dunia yang selama ini tak kau lihat karena sibuk mencintainya. Kau akan menemukan orang baru yang lebih bisa menghargaimu dan memperlakukanmu layaknya ratu. Lalu kau akan lebih bahagia.”

Perempuan berselendang hitam lantas mengarahkan pandangannya pada deretan pohon cemara yang berdiri tak jauh dari tempat mereka duduk. Ia tampak mengamati sesuatu. “Lihatlah ulat di ranting pohon itu! Kau kini sama seperti dirinya. Bila kau tak mau berubah, maka hanya warna hijau yang bisa kau lihat. Hanya dialah yang ada di matamu. Tapi bila kau mau bermetamorfosis menjadi kupu-kupu yang terbang kemana saja, maka kau akan melihat banyak lagi warna baru yang lebih indah daripada warna hijau. Kau akan melihat laki-laki lain yang jauh lebih baik.”

“Apa menurutmu ini saatnya untukku bermetamorfosis menjadi kupu-kupu?” tanya perempuan berselendang merah, sedikit ragu.
Perempuan berselendang hitam pun mengangguk dengan penuh keyakinan, “Tentu, bila kau tak ingin berlarut-larut dalam tangis. Apa yang telah kusampaikan padamu semata-mata hanya untuk kebaikanmu. Maka untuk kali ini saja, turutilah aku. Ikuti jalanku, logika.”

Ia pun lantas berdiri dan melangkah pergi meninggalkan perempuan berselendang merah yang masih duduk termangu.

***

Seorang perempuan berjalan menuju sebuah rumah kayu yang terletak di tepi hutan. Tangannya menjinjing sebuah keranjang coklat yang berisi bunga-bunga cantik dengan berbagai warna. Sembari melangkah, ia merapikan selendang berwarna hitam legam yang ia kenakan. Ketika sudah mendekati rumah tersebut, mata perempuan tadi menangkap sesuatu. Sepucuk surat? Siapa yang menaruhnya di depan rumahku?

Ia pun mempercepat langkahnya dan memungut surat yang terletak di depan pintu itu. Tanpa nama. Merasa tak sabar ingin membacanya, ia segera membuka pintu dan meletakkan keranjang bawaannya. Ia lalu duduk pada kursi goyang yang terletak tak jauh dari perapian. Dibukanya surat itu perlahan. Ada namanya di bagian paling atas.



LOGIKA,
            Sudah kupikirkan semua yang kau katakan. Sudah kupertimbangkan semuanya. Bahwasanya, kau memang sepenuhnya benar. Aku saja yang selama ini keras kepala dan menutup mata batinku. Kini semuanya sudah terjawab jelas. Ia tak lagi mencintaiku. Ia telah bahagia dengan jiwa lain yang mungkin lebih pantas bersanding dengannya dibandingkan aku. Kini semuanya secara nyata menyayatku. Membuatku menangis perih. Selendang merahku tak lagi berwarna cerah. Ia telah berubah warna menjadi keunguan, seperti lebam yang menjalari tubuhku.
Tak apa, kau tak perlu khawatir. Ini semua memang murni kesalahanku. Seharusnya dari awal aku mendengarkan kata-katamu. Seharusnya dari awal kucermati semesta yang memberi banyak tanda. Sayangnya semua sudah terlambat. Tak ada lagi hal yang bisa kulakukan, selain melangkah menuju masa depan. Maka kini bantulah aku. Kuatkan aku dengan segala penguatan yang kau punya. Aku sadar bahwa hanya kau yang aku butuhkan di saat-saat seperti ini.
Mohon jangan kecewakan aku, yang telah memilih untuk mengikutimu…

Dengan Tulus,

  


                                                                                                                          HATI




0 comments:

Post a Comment

Blogger Widgets
 

The Journal Of Life Journey