Barisan nada kata ini tercanting untukmu, hai pelajaran terbaikku....
Apa aku pernah menyangka akan kehilanganmu sampai sejauh ini? Mungkin.
Ketika gerimis mengantarkanku pada sebuah fantasi. Di saat itulah aku mengandai.
Bagaimana bila akhirnya sensasi ini tak kurasakan lagi?
Bagaimana bila akhirnya endorfin yang kau beri padaku memudar?
Bagaimana bila akhirnya aku kehilanganmu, canduku...
Entahlah. Aku tak kuasa selain hanya berdalih. Berharap semua ketakutan itu mendadak sirna bersama kenikmatan duniawi yang kita jalin bersama.
Aku menyukai sebuah diorama. Dimana akhirnya dentingan waktu mempertemukan kita pada sebuah spektrum. Lalu semua bergulir seolah apa yang kita jalani nihil kesalahan. Kau menyukainya? Akupun.
Merajut juntaian kisah pada garis hidup kita masing-masing. Berbagi pengalaman yang menyimpan buncahan asa dibaliknya.
Memahami satu sama lain lantas terjebak dalam satu kata penuh rona. Hingga aku tiba pada satu titik dimana aku mengerti dirimu. Sangat mengerti. Jauh melebihi presentase yang seharusnya.
Kau tahu? Saat itu juga aku merasa beruntung. Beruntung karena bahagiaku denganmu. Dan beruntung karena aku sangat ketergantungan padamu.
Caramu memang selalu berbeda. Kau berhasil membuatku seperti berada dalam zona bahaya.
Aku tahu salah. Aku tahu tak seharusnya bermain api.
Tapi disisi lain, aku merasa benar. Aku merasa ini satu-satunya jalan yang membuatku tetap utuh.
Sebuah postulat pun berkata bahwa kebenaran itu relatif, bukan?
Tak apa. Biar semua resiko itu kutanggung sendiri.
Sebuah postulat pun berkata bahwa kebenaran itu relatif, bukan?
Tak apa. Biar semua resiko itu kutanggung sendiri.
Walau relungku tak pernah berhenti bergema, bahwa di masa mendatang ada yang akan hilang.
Walau logikaku selalu menyadarkan bahwa kau bisa saja pergi.
Walau konspirasi menjejaliku dengan fakta-fakta hitam tentangmu.
Tak kuindahkan semua seolah mereka adalah gurauan hebat.
Bahkan hingga detik ini ketika aku telah kehilangan segalanya, ketika aku tak lagi meraba hadirmu, masih saja ada rasa tak percaya hinggap pada bilur hati.
Masih saja aku menatap kosong nestapa dan berharap kau berbalik arah.
Mungkin kau masih bisa melihatku. Melihat ragaku. Tak terlukai sebilah belati.
Tapi jiwaku mati. Hidupku sekadar formalitas semata, tanpamu.
Segala harap pun tak lagi berkembang dalam benak. Mungkin benar apa kata semesta. Kali ini aku akan kehilanganmu selamanya.
Apa ada pilihan lain selain dengan menerimanya? Mungkin tidak.
Fortuna memang sedang tak ada disisiku. Dia dan amor ditelan bumi.
Baiklah. Tak apa.
Demi sebuah kebahagiaan, aku akan baik-baik saja. Aku berjanji. Setidaknya dengan diriku sendiri.
Demi sebuah keikhlasan, aku akan melepasmu bersama kuntum harapan yang telah layu.
Terima kasih untuk warna abu-abu yang kau toreh pada bingkai hidupku.
Terima kasih untuk setiap zat adiktif yang kau bubuhkan pada tubuhku.
Terima kasih untuk setiap proses pendewasaan yang kau ajarkan padaku.
Kini pergilah, pergilah bila memang kau mau pergi....
Segala harap pun tak lagi berkembang dalam benak. Mungkin benar apa kata semesta. Kali ini aku akan kehilanganmu selamanya.
Apa ada pilihan lain selain dengan menerimanya? Mungkin tidak.
Fortuna memang sedang tak ada disisiku. Dia dan amor ditelan bumi.
Baiklah. Tak apa.
Demi sebuah kebahagiaan, aku akan baik-baik saja. Aku berjanji. Setidaknya dengan diriku sendiri.
Demi sebuah keikhlasan, aku akan melepasmu bersama kuntum harapan yang telah layu.
Terima kasih untuk warna abu-abu yang kau toreh pada bingkai hidupku.
Terima kasih untuk setiap zat adiktif yang kau bubuhkan pada tubuhku.
Terima kasih untuk setiap proses pendewasaan yang kau ajarkan padaku.
Kini pergilah, pergilah bila memang kau mau pergi....
1 comments:
:) (y)
Post a Comment