"Silakan kopinya."
"Makasih mbak."
Seraya si pelayan pergi, kusesap perlahan cappuccino pesananku. Hangat.
Bagiku, kopi ialah pemanis di kala senja. Aku tidak paham dengan anggapan orang-orang yang membenci kopi hanya karena ia pahit. Pahitnya kopi mampu menyadarkanku bahwa hidup tidak selamanya manis. Kopi sanggup membuatku nyaman meski kepala sedang suntuk-suntuknya. Dan kopi ialah teman yang baik bagi mereka yang sedang sendiri. Seperti orang yang sedang menunggu. Seperti aku.
Kulirik jam tanganku.
Satu jam. Sudah satu jam aku berada di cafe yang bahkan sebelumnya belum pernah aku singgahi. Sejenak kuperhatikan sekeliling. Interior cafe ini cukup cantik. Dinding yang berlapis wallpaper berwarna coklat begitu serasi dengan lantai parquet. Jam antik serta meja-meja kayu yang tampak kuno menambah nuansa vintage. Lagu-lagu akustik John Mayer yang terus diputar membuatku percaya jika pemilik cafe ini memiliki selera musik yang bagus. Di sudut cafe, terlihat beberapa remaja sibuk bergurau satu sama lain. Di sudut yang lain, sepasang kekasih sedang asik bermesraan. Semua orang larut menikmati suasana. Kecuali aku.
"Semoga aku nggak salah tempat," batinku.
Kuingat-ingat lagi surat itu. Ya, surat aneh yang kudapat sehari yang lalu. Tidak ada nama pengirim, hanya berisi tulisan pendek mengenai permintaan untuk bertemu disertai alamat, tanggal, dan waktunya. Di baliknya terdapat sebuah foto seorang anak lelaki menggenggam tangan seorang anak perempuan. Semakin kuperhatikan, semakin aku yakin jika anak lelaki di foto itu aku. Berbagai macam pertanyaan seperti siapa pengirimnya, ada keperluan apa ia ingin menemuiku, dan kenapa ia bisa memiliki fotoku waktu kecil mengubur segala rasa takutku.
Dan di sinilah aku. Menunggu.
Kau tahu? Menunggu ialah pekerjaan yang mengesalkan. Menunggu membuatmu gelisah. Menunggu membuatmu resah dan tak nyaman. Dan kau hanya bisa menduga-duga tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
***
Suara bel menandakan pintu cafe itu terbuka. Seorang perempuan dengan kemeja flanel berjalan masuk. Ia terlihat seperti mencari sesuatu, atau mungkin seseorang. Kutatap foto yang ada digenggamanku dan kembali melihat wajah perempuan itu, hanya untuk sekadar memastikan bahwa dialah yang kutunggu. Tak salah lagi, itu benar dia. Kuangkat segera tanganku supaya dia menyadari keberadaanku. Dan benar saja, sedetik kemudian perempuan itu menatapku seraya tersenyum. Senyum yang sedikit canggung. Akupun membalas senyumnya sehangat mungkin. Perempuan berparas cantik itu lantas berjalan ke arahku. Mendekatiku yang tiba-tiba berselimut perasaan gugup.
“Radix Ananta?” tanyanya hati-hati ketika telah berdiri tepat didepanku.
Aku kembali tersenyum serta
mengangguk. “Benar sekali.”
Kini giliran dia yang
menyunggingkan senyum. Dari senyumnya tampak sekali ekspresi kelegaan. Mungkin
dia lega karena tak perlu bersusah payah mencariku. Atau lega karena akhirnya
berhasil menemuiku –orang yang dicarinya, entah karena apa-
“Boleh kan kalau aku duduk?”
“Oh.. iya.. iya.. silakan.” Jawabku
sambil mempersilakannya duduk dihadapanku. “Jadi, siapakah nona ini sebenarnya?”
Dia mengulurkan tangan. Refleks kuulurkan juga
tanganku hingga menyentuh tangannya yang lembut. “Aku Laura, Radix. Teman
kecilmu..”
Apa dia bilang? Teman kecil? Aku
lantas mengernyit. Rasa-rasanya aku tak pernah memiliki teman bernama Laura.
Apalagi masa kecilku kuhabiskan di kota Malang, bukan di Kota yang penuh
hingar-bingar seperti Jakarta ini. Ya, aku memang baru menetap di kota Jakarta
sejak setahun yang lalu. Itupun karena masalah pekerjaan. Lalu bagaimana
ceritanya aku bisa memiliki teman kecil di Jakarta? Tidak mungkin. Dia pasti
berbohong. Tapi bila benar dia berbohong, mengapa aku pernah berfoto dengannya?
Bahkan dalam foto ini kami terlihat sangat akrab?
“Oke, aku ngerti. Kamu pasti bingung
dengan semua ini.” Ia nampak gusar mencari sesuatu. “Sebenarnya aku juga malas
mengungkitnya, tapi…” diambilnya sebuah staff map dari dalam tas lalu diletakkannya
diatas meja.
“Apa itu?”
“Radix, sudah saatnya kamu mengetahui
siapa dirimu sebenarnya.”
***
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas
malam dan aku masih saja terdiam disini. Dikamarku. Sepulang pertemuan dengan
Laura siang tadi, aku seperti orang linglung. Otakku tak kuat ditempa berbagai
fakta yang kuterima hari ini. Penjelasan-penjelasan Laura mengenai masa kecilku
terus membayangi. Dia berkata aku ini berbeda
dengan yang lain. Aku punya kelebihan yang tak dimiliki teman-temanku pada
umumnya. Tapi aku juga tak lebih dari sekadar kelinci percobaan!
Kutenangkan pikiranku sebelum
akhirnya memberanikan diri untuk menyentuh staff map pemberian Laura. Staff map
tebal berwarna hitam ini tampak kusam, seperti telah disimpan selama puluhan
tahun. Pada cover depannya terdapat kata Genasso yang ditulistangan
menyerupai font Italic.
Kubuka staff map itu perlahan. Dihalaman pertama, terdapat sebuah
paragraf yang menjelaskan apa itu genasso. Genasso adalah gen ciptaan Prof. Juan
Sefrino. Professor asli Italia yang mengabdikan dirinya di bidang
science.Waktunya selalu dihabiskan untuk berkesperimen menciptakan sesuatu. Tak
jarang temuannya digunakan oleh agen ternama FBI. Suatu hari, Prof. Juan
Sefrino menemukan genasso. Gen yang membuat seseorang memiliki kepekaan tinggi
terhadap angka. Berasal dari gabungan kata Gen dan Tasso, dimana dalam bahasa
Italia ‘tasso’ berarti angka. Tujuan awal dibuatnya genasso adalah supaya agen
FBI -yang pada waktu itu ditugaskan untuk menangkap Patty Hearst- dapat
memecahkan kode sandi yang dipakai teroris handal seperti Patty.
Lalu kubuka halaman kedua. Disana
terpampang foto 12 orang yang diwarisi genasso beserta riwayat hidup mereka. Sembilan
diantaranya adalah orang Amerika yang bekerja menjadi detektif. Tiga sisanya
orang berwajah Asia, dan salah satu dari tiga orang itu adalah aku. Ya, aku.
Betul-betul sebuah kejutan, bukan? Seorang Radix Ananta yang sederhana ini
ternyata memiliki kemampuan setara dengan detektif agen kenamaan. Pantas saja
ketika duduk di bangku sekolah aku selalu memenangkan olimpiade matematika,
bahkan tingkat nasional sekalipun. Ternyata karena gen ini.
Dan tentang mengapa aku bisa mewarisi
genasso, ceritanya cukup panjang. Aku pun juga baru mengetahuinya dari Laura.
“Sewaktu kecil, kamu dan keluargamu
sempat tinggal di Jakarta. Kita bertetangga, dan berteman sangat dekat.”
“Oh ya? Tapi aku sama sekali nggak inget kamu. Bila benar kita pernah-“
“Dengarkan penjelasanku dulu! Kamu nggak ingat karena reaksi genasso sudah menurunkan daya ingatmu.”
Aku lantas bergeming. Pembicaraan ini
terasa semakin tak masuk akal saja.
“Tak jauh dari rumah kita, ada
seorang kakek yang tinggal sendiri. Kita sering bermain kesana cuma untuk mendengarkan
dongeng darinya. Ia sangat baik..” Pandangan Laura menerawang, menembus jalanan
diluar kafe yang padat merayap. “Beliau tak lain adalah Prof. Juan Sefrino,
pencipta genasso. Ayahmu dulu sempat menjadi asistennya, sebelum akhirnya kamu
dan keluargamu pindah ke kota Malang.”
“Apa kamu bilang? Ayahku??”
“Iya. Ayahmu adalah seorang dokter,
bukan?”
Aku mengangguk perlahan, masih diliputi
rasa terkejut. Bagaimana bisa ayahku terlibat praktek yang bahkan belum tentu
legal ini?
“Almarhum ayahku juga bekerja menjadi
asisten Professor Juan. Beliau pernah bercerita, tak lama setelah ditemukan
genasso, ayahmu terobsesi memberikan gen itu padamu.”
“Dan dia melakukannya?”
“Ya, dia melakukannya ketika kamu berumur
4 tahun. Saat kamu sedang tidur, diam-diam beliau menyuntikkan genasso padamu.”
“Tapi atas dasar apa? Apa karena dulu
aku tak pandai berhitung?” Tanyaku polos.
Laura refleks tertawa medengarnya. “Entahlah.
Tapi kurasa saat itu beliau telah dibutakan oleh science, sehingga menganggapmu
jadi objek penelitian.”
Pantas saja ibu menggugat cerai ayah.
Ternyata seperti ini kelakuannya padaku? Seandainya saja ayah tidak menetap di
Los Angeles, mungkin sekarang aku sudah pergi menemuinya. Mencak-mencak
dihadapannya dan meminta penjelasan akan perbuatannya ini.
“Tapi kamu tak perlu khawatir, Radix.
Genasso tak berbahaya. Hanya saja, reaksi awalnya mengakibatkan otakmu
mengalami sedikit penurunan daya ingat.”
“Itukah alasan kenapa aku nggak
mengingatmu?”
“Ya, begitulah.” Jawab laura sambil tersenyum
getir. “Memori anak umur 4 tahun belum terbangun cukup baik, apalagi setelah
itu kamu langsung meninggalkan Jakarta. Wajarlah bila ingatan mengenai
masa-masa itu lenyap dari otakmu.”
Aku
mengedikkan bahu begitu teringat pembicaraanku dengan Laura siang tadi. Jujur
saja, bila aku bisa memilih, aku lebih memilih untuk tidak melewati hari ini.
Aku lebih memilih untuk tidak mengetahui asal-usulku dan menjalani hidupku
seolah aku tak tahu apa-apa. Menyedihkan rasanya setelah mengetahui bahwa
kepintaranku di bidang eksakta ternyata tidak murni pemberian Tuhan.
“Aku membutuhkanmu dan genasso yang
kamu miliki. Itulah sebabnya aku mengirimimu surat.”
Tiba-tiba saja pembicaraanku dengan
Laura terlintas lagi.
“Untuk apa?” tanyaku penasaran.
Laura menghela napas panjang, seolah
beban yang ia hadapi sangatlah besar. “Walaupun Professor Juan telah meninggal
sepuluh tahun yang lalu, namun laboratorium yang ia gunakan masih aktif.”
“Dibiarkan aktif begitu saja? Lalu siapa
yang merawatnya?”
“Ayahku. Namun tahun lalu, beliau meninggal.
Terkena radiasi ionisasi.” Laura berusaha tampak tegar walau sebenarnya duka
mendalam itu masih tergambar jelas di wajahnya.
“.. Dan sebelum meninggal, ayahku
berkata bahwa masih ada sisa eksperimen Proffesor Juan yang terus berkembang di
dalam lab. Eksperimen yang berupa DNA itu sifatnya sangatlah kuat.”
Aku memicingkan mata. “Kuat seperti
apa maksudmu?”
“DNA temuan ini dilengkapi
transmitter yang bisa menembus tubuh manusia. Bila terus didiamkan, dia akan
meledak dan merusak kromosom orang-orang di kota ini.”
“Sedahsyat itukah kekuatannya?”
“Iya, dan menurut data yang kubaca, DNA itu akan
meledak tak lama lagi. Kita hanya punya sedikit waktu untuk mematikannya.”
Kuakui, aku belum pernah terlibat
dalam misi sebesar dan sebahaya ini. Awalnya aku sangsi menerima ajakan Laura.
Bagaimana tidak? Aku bekerja di bidang perpajakan dan seingatku terakhir kali
aku masuk laboratorium adalah ketika duduk di bangku SMA. Salah-salah, bukannya
membantu tapi malah kekacauan yang aku buat nanti. Tapi setelah kupikir
kembali, rasanya akan lebih salah bila aku membiarkan perempuan sepertinya bekerja
sendiri. Akhirnya, dengan segala pertimbangan, aku memutuskan untuk
membantunya. Kita akan bertemu esok, sebelum senja tiba.
***
“Inilah Laboratorium itu, Radix. Apa
kamu siap masuk?”
Saat ini aku dan Laura telah berdiri
di sebuah bangunan bergaya klasik yang terletak sedikit jauh dari pemukiman.
Dari luar, bangunan ini tampak biasa saja. Tidak ada kesan yang menunjukan
bahwa sebenarnya ini adalah laboratorium yang pernah digunakan untuk eksperimen
besar.
“Ya, aku sudah siap.” Jawabku pada Laura yang
hari ini tampak casual dengan jaket kulit berwarna hitam.
Tak lama kemudian, kami sudah berada
dalam suatu ruangan luas dengan nuansa putih. Di sebelah kananku, berjejer rapi
tabung Erlenmeyer, rotavapor, centrifuge, ozon generator, dan alat-alat yang
umumnya ada di laboratorium.
Rasa penasaran memaksaku untuk
melangkah kedepan. Disana berdiri sebuah mikroskop electron dan sebuah laptop yang
menyala. Dari layar laptop, terlihat gambar menyerupai dua rantai merah yang
terpilin menjadi satu. Ini pasti DNA yang dimaksud Laura, tebakku.
Mataku kemudian tertuju pada
tabung-tabung besar yang terletak disisi kiri. Tabung itu tidak terbuat dari
kaca, sehingga akupun tak tahu apa yang ada didalamnya. Disamping tabung,
berderet botol-botol yang berisi NaOH, H2SO4, KOH, NaCl, dan lain sebagainya.
“Laboratorium ini tidak bisa dimasuki
sembarang orang, Radix. Ia menyimpan gelombang elektromagnetik besar yang bisa
menyebabkan radiasi.” Laura memperlihatkanku sebuah alat menyerupai amperemeter
dimana jarum dari alat tersebut menunjukkan kekuatan gelombang dalam laboratorium
ini. Ternyata benar, jarum itu menunjuk kata ‘strong’ yang terletak di ujung
paling kiri.
"Lantas bisakah gelombang itu
membunuh kita juga?”
“Tidak. Itulah hal yang patut kita
syukuri. Orang yang menerima gen buatan dari Professor Juan memiliki kekebalan
diatas rata-rata.”
“Kalau begitu.. Kamu juga memiliki
gen buatan dalam tubuhmu?”
Laura menatapku sambil menyeringai. “Iya.
Bila kamu adalah genasso, aku adalah genium. Manusia pada umumnya memiliki 10
miliar antibody, tapi aku memiliki dua kali lipatnya.”
Aku tercengang mendengarnya. Gadis
ini.. ternyata hampir sama sepertiku? Benar-benar tak kusangka.
“Jangan bilang kamu dijadikan objek
penelitian juga oleh ayahmu?”
“Oh, tidak...tidak..” Ia menggeleng. “Dulu
semasa sekolah, kondisi tubuhku sangat lemah. Dalam setahun, nggak kehitung
berapa kali aku keluar-masuk rumah sakit. Professor Juan yang prihatin melihat
kondisiku akhirnya menyuntikkan genium ke tubuhku. Sejak saat itu, aku jadi
sangat kebal.”
“Lalu apa kamu juga mengalami
penurunan daya ingat seperti aku?”
“Tidak. Serum pembuat genium kadarnya nggak tinggi seperti genasso.”
Kusikut tangan Laura perlahan. “Enak
sekali jadi kamu. Nggak kayak aku yang harus merasakan lupa pada masa
kecil.”
Ia tertawa kemudian menarik tanganku
untuk mendekat pada layar. “Baiklah, sekarang akan kujelaskan mengenai cara
kerja DNA ini. Sebelumnya, apa kamu tahu alasan mengapa aku mengajakmu
bertemu sebelum senja tiba?” Aku menggeleng pelan.
“Well, DNA ini bertumbuh semakin besar
karena menyerap sinar matahari dengan menggunakan sel fotovoltaik. Di
waktu siang, ia menyerap sinar sebanyak-banyaknya, lalu ketika malam ia akan
menjadi lebih kuat. Namun ada fase dimana DNA ini menjadi sangat lemah, yaitu
pada titik balik matahari.”
Aku menggumam. “Dan titik balik itu
adalah senja? Maka dari itu, sebelum senja tiba, kita harus sudah bersiap untuk
mematikannya? Benar begitu?”
“Tepat sekali!” Ia menjentikkan
jarinya dan tersenyum puas. “DNA ini dibangun dari dua serum yang berbeda.
Sebut saja serum A dan serum B. Kemarilah, lihat ini..”
Kudekati mikroskop electron yang ada
disamping layar dan kulihat serum yang dimaksud Laura. Bentuknya tak beraturan, seperti
bakteri.
“Serum A nantinya akan membentuk adenine,
dan serum B akan membentuk sitosin yang biasanya ada pada rantai DNA.
Penggabungan DNA dengan serum sendiri dibantu oleh ion dan sel surya yang
diserap tadi. Ini dia ionnya..” Laura mengangkat tabung Erlenmeyer yang berisi
cairan berwarna putih keruh dan mendekatkannya padaku.
“Kamu tadi bilang bahwa serum lah yang
membuat DNA ini menjadi kuat. Berarti bila serum itu kita hancurkan, DNA ini
tidak akan jadi kuat lagi?”
“Ya, benar sekali! Kamu sangat cerdas,
Radix.” Diletakkannya kembali tabung Erlenmeyer yang ia pegang. “Serum ini
adalah hasil ekstrak dari angka-angka yang diperhitungkan menggunakan kalkulus
tingkat tinggi. Tak ada jalan lain untuk mematikannya selain dengan membuat
serum pembalik.”
Laura melangkah menuju rak buku yang
terletak di sudut ruangan. Lalu diambilnya sebuah buku tebal yang tampak berdebu.
“Bacalah buku ini untuk membuat serum pembalik. “ Disodorkannya buku itu
padaku. “Hanya seorang genasso yang mampu berkutat dengan angka-angka pembuat
serum. Aku sudah mencoba berkali-kali, tapi selalu gagal.”
Kuambil buku itu dari tangan Laura
dengan penuh keyakinan. “Baiklah. Percayakan semuanya, padaku.” Aku tersenyum lalu
mulai membaca buku itu.
Langit
pukul tiga sore seakan menjadi saksi misi penyelamatan ini. Seorang genasso dan
genium yang sama-sama sedang mengerahkan kemampuannya. Dalam hati aku yakin bahwa
misi ini tak akan gagal begitu saja. Sebelum senja tiba mengetuk pintu
cakrawala, ingatkanlah aku untuk tidak berhenti berjuang. Demi keselamatan
jutaan nyawa di kota ini, dan demi perempuan yang menarik perhatianku ini tentunya.
3 comments:
menarik dan berbeda. Waktu baca, nggak ada cara lain untuk menikmati cerpen ini selain percaya dengan teorinya yang memang sangat meyakinkan :D
Semoga menang!
Keep up the good work!
Wahahahahahaha, ini keren banget pengembangannya! Sama sekali gak nyangka kalau bisa juga dibuat seperti ini! Good luck!
Makasih buat commentnya! *senaaaang :D
Post a Comment