Aku menyadari bila tak ada yang abadi dalam panggung
kehidupan ini. Aku menyadari bila semua hal mempunyai batas waktu. Tapi mengapa
batas waktu hidupnya sangat singkat? Berkali-kali kusalahkan Tuhan atas
kematian perempuan yang aku cintai itu. Mengapa tak Kau kuatkan tubuhnya sampai
aku mengingat segalanya? Mengapa tak Kau ijinkanku melihat dirinya untuk
terakhir kali? Mengapa tak Kau sembuhkan saja dia, Tuhan? Kupukul setir yang
ada di depanku perlahan. Mencoba meluapkan apa yang mengganggu otakku malam
ini. Kepalaku terasa pening, emosiku naik mencapai ubun-ubun. Sesampainya di
rumah, kuputuskan untuk langsung merobohkan diri di sofa.
“Selamat malam, Pak.” Sapa Bi Surti -pengurus rumahku- seraya
menundukkan badan. “Tadi ada seorang wanita datang kemari. Ia menitipkan
sesuatu untuk bapak.”
“Wanita? Siapa,Bi?”
“Maaf, Pak. Saya tidak sempat menanyakan
namanya, karena ia sangat terburu-buru. Ia hanya menitipkan ini.” Bi Surti
memberikan sebuket bunga berwarna coklat keemasan padaku. Bunga Edelweiss?
Satu jam kemudian, kudapati diriku tengah termangu di kamar
sambil memandang bunga kesukaanku itu. Bunga yang tak pernah bisa mati, dan disebut-sebut
sebagai lambang cinta abadi. Letaknya hanya ada di dataran tinggi, itulah
sebabnya dulu aku sering mendaki gunung demi mendapatkannya. Edelweiss pertama
yang aku petik berasal dari puncak
Merbabu. Dan tentu saja, aku menghadiahkannya pada orang yang sangat aku
cintai. Kirana. Bicara soal Kirana, hatiku kembali berselimut pilu. Tadi Bi
Surti menerangkan padaku ciri-ciri wanita yang memberikan bunga ini.
Ciri-cirinya mirip sekali dengan Kirana. Sepertinya memang dia yang berkunjung
ke rumahku tadi. Terimakasih atas edelweiss cantik yang kau berikan, Kirana.
Baru
saja hendak kuletakkan bunga itu ke dalam vas, tiba-tiba sebuah gulungan kertas
jatuh melalui sela-sela tangkainya. Apa ini? Kupungut gulungan kertas itu
setelah menaruh bunga. Aku lalu duduk di tepi kasur dan membukanya. Satu detik
kemudian dadaku terasa kebas. Aku kenal betul tulisan ini! Tulisan yang
menyerupai font italic ini adalah tulisan Kirana. Di kertas itu, ia menulis
deretan angka 11-1-12-21-14-7. Keringat dingin mulai membasahi pelipisku.
Sepertinya benar-benar ada sesuatu yang ingin Kirana sampaikan. Apakah
kedatangannya akhir-akhir ini untuk meminta pertolongan? Entahlah. Malam ini
kuputuskan untuk tidak tidur sebelum memecahkan segalanya.
Pikiranku menerawang
jauh sambil menerka-nerka arti angka tadi. Berdasarkan
penuturan Chandra, Kirana meninggal pada sebelas januari 2012. Tanggal 11,
bulan 1, di tahun ke 12 pada abad 21. Sesuai dengan empat angka pertama. Tapi
apa hubungannya dengan dua angka terakhir? Tidak, sepertinya tidak ada. Mungkin
bukan itu maksudnya. Kukerahkan seluruh energiku untuk kembali berpikir. Lantas
kucoba menghubungkan angka-angka itu dengan alphabet. Apakah angka 11
melambangkan huruf K.. Lalu 1 melambangkan A.. 12 untuk L.. 21 untuk U, dan.. Hey!
Ternyata deretan angka itu membentuk sebuah kata. K-A-L-U-N-G. Iya, kini aku
tak salah lagi! Kira-kira ada apa dengan sebuah kalung?
Aku
terdiam cukup lama sebelum akhirnya memutuskan untuk membuka kembali foto-fotoku
dengan Kirana di handphone. Setelah kuperhatikan baik-baik, ternyata Kirana
selalu menggunakan kalung berliontin hati pada setiap foto. Kalau tidak salah,
itu adalah kalung kesayangannya yang didapatnya dengan harga mahal. Hati
kecilku mendadak berkata, pasti ada sesuatu yang terjadi dengan kalung
kesayangan Kirana. Apalagi setelah kuingat bahwa dalam mimpi-mimpiku, Kirana
tak pernah memakai kalung.
Check the first episode in here
And the second episode in here
#FlashFictionBersambung @Benzbara
2 comments:
Ada namaku :D
:)))
Post a Comment